Bangun Sinergi Lebih Baik Sentra Gakkumdu
|
Sukoharjo, Rochmad Basuki, S.E, M.H (Ketua Bawaslu Kabupaten Sukoharjo), Rini Trianingsih S.H, M.Hum (Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Sukoharjo), Kompol pariastutik, SH (Wakil Kepala Kepolisian Resor Kabupaten Sukoharjo), dan Agus Riewanto S.H, M.H, C.l.A Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, menghadiri Rapat Koordinasi Sentra Penegak Hukum Terpadu mengenai Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur serta Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2024 yang berjudul Kotak Kosong Dalam Perspektif Pidana Pemilihan Kepala Daerah yang dilaksanakan pada hari Kamis, 24 Oktober 2024 Hotel Fave Solo Baru, Madegondo, Grogol, Kabupaten Sukoharjo.
Ketua Bawaslu Kabupaten Sukoharjo, Rochmad Basuki, SE, MH memberikan arahan “Gerakan gerakan yang memframe kotak kosong apakah itu yang dapat dapat merusak atau masuk dalam pidana umum, memilih kotak kosong berarti suara rusak atau melakukan perlawanan, 9 elemen menyebarkan kampanye kota kosong.”
Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Sukoharjo, Rini Trianingsih SH, M.Hum menambahkan “Setiap pemilihan daerah pasti ada permasalahan tergantung kita menyikapinya serta mengatasi permasalahan tersebut apakah permasalahan itu termasuk dalam pidana umum, demi terlaksananya prosesi pemilihan, terkait dengan kampanye menuntut kotak kosong melakukan kampanye apakah diperbolehkan, yang membuat prosesi pilkada menjadi berkendala.”
Latar belakang untuk menyamakan pemahaman mengenai pemilihan antara Bawaslu, Polri, dan Kejaksaan adalah pentingnya komunikasi dalam segala aspek. Hal ini menjadi hal yang sangat penting guna pelaksanaan tindak pidana dalam Kotak Kosong pada Pelaksanaan Pemilu. Kewenangan khusus penyidik Polri setelah adanya laporan pelanggaran pemilihan yang diterima oleh Bawaslu maupun Panwas dapat melakukan penyidikan sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 146 ayat (2) Undang-Undang Pemilihan. Jadi, terkait dengan pelaksanaan di astasasi tim dari Polda terkait patroli cyber yang tergejolak pada masyarakat itu dapat di take down dan dari Bawaslu mendapatkan laporan dan dilanjutkan di penyidikan nantinya melalui Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT).
Dalam kegiatan ini, Agus Riewanto, S.H, M.H, C.I.A Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta menjelaskan mengenai sejarah kotak kosong meliputi istilahnya dalam politik tapi dalam hukum pasangan calon cuma satu. Orang yang tidak memilih calon yang disediakan atau dalam ilmu politik “None Of The Above” (NOTA). Kotak Kosong bermulai pada Pilkada 2015 berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (KPU membuka pendaftaran Cakada 2 kali jika tidak ada makan lawan di kotak kosong). Putusan Mahkamah Konstitusi membuka peluang Partai Politik lebih leluasa mengusung calonnya sendiri tanpa harus berkoalisi. Jika tidak ada Putusan Mahkamah Konstitusi ini maka tren kotak kosong terus meningkat (Tahun 2015-2024). “Kita akui Partai Politik buruk yang menjadikan hal tersebut memperbanyak kotak kosong, dampak pemilih tidak mempunyai alternatif calon.” Ujarnya.
Konsekuensi jika dari kotak kosong yang menang dalam pemilihan adalah Pemilihan Kepala Daerah itu diulang pada periode berikutnya yang menjadikan pada periode tersebut tidak ada pemimpin atau menjadikan PJ sebagai penggantinya. Memilih kotak kosong berbeda dengan golput, Jika seseorang memilih kotak kosong dihitung sebagai surat suara yang sah. Masyarakat diperbolehkan untuk mengkampanyekan kotak kosong asal tidak dibiayao negara dan tidak pada saat masa tenang. Masyarakat juga bisa mengajukan diri sebagai pemantau pemilu terakreditasi ke KPU (Masyarakat adat diakui sebagai legal standing oleh MK).
Kegiatan ini dihadiri oleh seluruh anggota Sentra Penegak Hukum Terpadu Kabupaten Sukoharjo.
Alviony